Senin, 17 September 2012

Sebuah Pelajaran dan Perubahan Yang Diharapkan

Sebuah Pelajaran
Walau Pilkada DKI Jakarta tinggal menghitung hari dari sekarang yaitu tanggal 20 September 201, Kamis. Masih kental dalam ingtan kita dalam putaran Pertama Pilkada DKI Jakarta dimana pasangan Jokowi dan Basuki dapat mengalahkan pasangan incumbent Foke dan Nara dengan angka yang telak, padahal dalam sebulan sampai minggu terakhir menjelang pemungutan suara seluruh lembaga survei yang ada menjagoi Foke-Nara untuk memenangi Pilkada Jakarta dalam satu putaran, alhasil terjadi piramida terbalik dimana ada pasangan yang tidak diunggulkan menjadi juara dalam putaran pertama.
Direktur Peneliti LSI Arman Salam mengaku perolehan suara pasangan Jokowi- Ahok cukup fenomenal dan memutarbalikkan sejumlah survei yang ada, termasuk survei LSI. Dikatakannya, “Bukan lagi soal imej, tetapi ini soal jejak keberhasilan yang diingat oleh masyarakat,” katanya. Beberapa pengamat mengatakan,  Keunggulan pasangan Jokowi – Ahok pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan warga Ibu Kota sangat menginginkan perubahan.
Sepertinya pada tahun 2007 Foke yang saat itu maju untuk pertama kali dalam pilkada berhasil mengkonsulidasikan partai-partai besar yang ada di Jakarta melawan satu Partai PKS yang menjagokan Adang Dorojatun dan Dhani Anwar, Foke mendapatkan perlawanan sengit dari Adng yang berhasil mengambil suara sebesar 47% sedangkan Foke jauh dari target yang menargetkan 60% suara dari seluruh DPT.
2007 dengan 2012 kejadian hampir sama, dulu tahun 2007 PDI P ada di team Foke, sekarang PDI P bergabung dengan Gerindra, tetapi dengan kemiripan Foke dapat mengabungkan kekuatan partai yg pada putaran pertama terpecah belah, sekarang semua ada dibarisan Foke, tetapi timbul pertanyaan apakah nanti partai-partai yang berkoalisi dapat menjalankan roda organisasi untuk dapat memenangkan pasangan Foke-Nara atau hanya untuk mengambil keuntungan dari politik praktis, ini dapat dilihat dari rekam jejak apa yg sudah pernah terjadi di 2007 Foke tidak tembus 60% suara yang notabene mendapat dukungan penuh dari parpol yang ada. Semoga saja dari pengalaman tahun 2007 menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk pasangan Foke-Nara tahun ini.
Perubahan Yang Diharapkan
Kasus kemunculan pasangan Jokowi-Basuki sebagai penantang terkuat incumbent, mengingatkan kita kepada kasus pilkada Jawa Barat pada tahun 2008. Penulis kembali teringat pilkada Jabar 2008, dimana pasangan warga biasa yang muda, Heryawan-Dede Yusuf mampu menjungkirkan optimisme pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI Iwan Sulanjana (mantan Pangdam Siliwangi), serta pasangan Jenderal TNI (Pur) Agum Gumelar (Mantan Menko Polkam)-Nu’man Abdulhakim (Wagub Jabar). Danny didukung Golkar dan Partai Demokrat, Agum diusung PDIP, PPP,PKB , PBB, PKPB, PBR dan PDS, sementara Heryawan hanya didukung PKS dan PAN.Kemenangan Heryawan-Dede Yusuf lebih dikarenakan keduanya adalah pasangan biasa saja, bersih, sederhana dan bukan pejabat atau mantan pejabat. Sementara dua pasangan lainnya adalah tokoh-tokoh hebat, bak selebrities yang diberitakan seperti tokoh tak terkalahkan. Dua pejabat Gubernur-Wakil Gubernur dan dua Jenderal yang demikian populer di media. Heryawan dan Dede Yusuf kemudian dipilih warga Jawa Barat pada umumnya karena turunnya kepercayaan masyarakat Jabar terhadap mereka yang sudah menjabat, terlebih ada kasus terhadap incumbent.
Nah, demikian kini nampaknya yang terjadi di pilkada DKI Jakarta. Pergeseran keputusan pada minggu-minggu terakhir perhatian konstituen di ibukota, karena adanya keinginan sebuah harapan perubahan terhadap kejenuhan atas masalah yang demikian complicated di Jakarta. Pemilih DKI kemudian mencari sosok diantara pasangan yang ada, dan Jokowi kemudian menjadi ikon harapan perubahan, dengan catatan yang terekam karena bersih, tidak ada masalah, pengabdi serta pelayan masyarakat, sederhana, tidak muluk-muluk, realistis. Oleh karena itu maka jadilah Jokowi, dari tokoh lokal di Solo menjadi sosok yang fenomenal yang mereka harapkan bisa memperbaiki Jakarta yang semrawut ini.
Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro mengatakan, “Sebelum kampanye pilkada, sosok Jokowi sudah dicitrakan sebagai kepala daerah yang sukses dan mampu membuat perubahan. Nah, prestasi tersebut mampu menarik simpati pemilih, terutama anak-anak muda yang punya semangat perubahan,” katanya. Sementara Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino mengungkapkan, keunggulan Jokowi-Ahok karena pemilih secara emosional bersimpati pada figur Jokowi. “Faktor utama keunggulan Jokowi lebih terletak pada psikologi politik pemilih yang secara emosional bersimpati pada figur Jokowi,” katanya.  Menurut Sandino, pemilih Jokowi bukan hanya mereka yang mempunyai ikatan kedaerahan, melainkan juga lapisan masyarakat bawah dan menengah yang menolak “status quo” politik. Mesin politik parpol pengusung terutama Partai Demokrat dan team sukses juga tidak mampu menunjukkan kapasitas sebagai organ pemenangan.
warga Jakarta sudah jenuh dengan kerasnya hidup di ibukota, "boring" dengan macet dan ulah para pengabdi masyarakat yang berkuasa itu. "Boring" dengan berita korupsi para pemegang amanah. Karenanya, kekuatan calon pemenang adalah siapa yang bersih dan mau menjadi pengabdi masyarakat. Vox Populi, Vox Dei.. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar