Situasi Indonesia
menjelang pemilihan calon legislative DPRD Kota,Kabupaten, DPR RI serta
pemilihan Presiden ditahun 2014 semakin memanas. Sejumlah partai politik
menggelar aksi-aksi provokatif masyarakat, bahkan para kandidat Caleg sudah
melakukan gerakan-gerakan “bawah tanah” yang dibungkus dengan kegiatan
keagamaan dan hari-hari momentum.
Hal ini memang tidak
salah, dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat bagaimana masyarakat
secara perlahan-lahan diajarkan dalam berpolitik. Dalam sejarah perjalanan
politik diIndonesia yang selama 32 tahun terkekang dalam rezim otoriter yang
menggunakan jubah demokrasi, yang hakikatnya demokrasi tak mungkin menghalalkan
otoritarianisme. Dengan jubah demokrasi Soeharto dapat mempertahankan
kekuasaannya selama 32 tahun.
Kini, Indonesia sedang
memasuki zaman demokrasi baru. Reformasi yang berlangsung pada 21 Mei 1998
merupakan puncak kemarahan rakyat Indonesia yang digerakkan oleh mahasiswa
terhadap rezim otoriterianisme, yang berhasil melengserkan rezim Soeharto.
Absennya demokrasi selama 32 tahun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal,
yaitu reformasi yang merancang kembali sendi-sendi demokrasi dari titik nol.
Demokrasi di Indonesia
masih mempunyai secercah harapan, dengan kejadian Mei 1998 rakyat Indonesia
mendesak agar praktek demokrasi dilakukan secara jujur dan adil, Rakyat
Indonesia yakin bahwa demokrasi merupakan solusi untuk mewujudkan pemerintahan
yang adil dan berdaulat, yang mencerminkan kehendak rakyat. Tulisan ini akan mencoba
menjelaskan masalah-masalah dan tantangan demokrasi di Indonesia.
Uang
dan Demokrasi
Pasca 1998 Indonesia
sudah menjalani pemilu 3 kali dan ditahun 2014 pemilu yang ke 4 kali, selama
dua dekade sudah banyak kita lihat bagaimana hasil dari pemilihan umum, mulai
dari pemilihan calon anggota legislative sampai pemilihan kepala daerah
ditingkat provinsi, kota maupun kabupaten.
Fenomena tersebut
menimbulkan sebuah harapan tentang trasnformasi demokrasi, yang akan melahirkan
sebuah perubahan besar tentang pemaknaan dan penghayatan terhadap demokrasi.
Tetapi disisi lain dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya arus balik tentang
lahirnya demokrasi versi kaum Epithumia.[1]
Kata Epithumia pertama kali dijelaskan oleh
Plato dalam bukunya The Republic[2],
dimana Plato melihat Kebebasan epithumia
menjadi anarkis[3],
demokrasi yang digambarkan menunjukan kebebasan yang bisa dipratekkan. Hidup
dalam rejim demokrasi artinya tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri,
tidak ada orang lain yang berhak menyuruh kita hidup dengan cara tertentu. Tiap
orang bebas berpendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia ingini
(Politeia 557b).
Bila individu
demokratis semacam itu Negara, maka hidup bersama menjadi kumpulan warna-warni
mozaik yang tampak indah, mengesankan dan menarik hati bagi kaum berjiwa
dangkal, seperti kanak-kanak dan kaum wanita (Politeia 557c). lebih dalam lagi,
Plato melihat bahwa rejim demokrasi adalah rejim “bazaar of constitutions, pasar hukum” (politeia 557d) dimana segala
macam aturan dipakai dengan bebas karena dianggap cocok dan menyenangkan semua
yang berkepentingan atasnya. Dengan ironis, Plato memuji rejim demokrasi yang
tampak ramai, meriah, dan menyenangkan karena mampu mengakomodasi setiap selera
anggotanya. Pujian ini ironis karena dengan begitu Plato menunjukkan bahwa
rejim bebas-bebasan yang kebablasan
sama saja dengan tiadanya tatanan.
Kebebasan yang begitu
dipuja dalam rejim demokrasi akan menghancurkan hidup bersama. Tidak ada lagi sense of duty sebagai warga Negara.
Menjadi anggota polis (Negara-kota) seolah menjadi pengunjung bazaar, yang suka-suka saja tanpa mau
diikat apa pun. Plato menggambarkannya demikian : “Merasa bebas paksaan
menjalankan sebuah jabatan dalam polis, pun kalau sebenarnya mampu
melakukannya, merasa tidak dipaksa ikut berperang saat yang lainnya pergi
bertempur, tidak menjaga perdamaian saat yang lain melakukannya hanya karena
tidak menginginkannya dan lagi dalam soal kebebasan mau memerintah dan menjadi
anggota juri pengadilan melarangmu. Bukankah hal-hal itu yang dianggap menjadi
hiburan menyenangkan dan paling mulia saat ini?”[4].
Kebebasan yang
dibangga-banggakan rejim demokrasi ternyata kebablasan. Menjadi warga Negara
dihidupi seenaknya. Saat lagi mau apa, maka dilakukan. Jika tidak mau, maka
tidak mau melakukan, diam saja. Kewajiban memberikan kontribusi kepada publik,
panggilan bertempur bela Negara atau tugas-tugas kewargaan ditundukkan pada
selera perut, kriteria hanya mau atau
tidak mau, dalam psikologi Platoisian
disebut Epithumia yang berarti hidup seenak perut. Bagian jiwa diperut
ke bawah yang isinya nafsu makan, minum dan seks (atau singkatnya, nafsu akan
uang).
Bila prinsip hidup
demokrasi adalah suka-suka, maka kualitas keputusan politis menjadi payah.
Pemimpin politik dan kebijakan politik yang landasannya uang adalah rejim
demokrasi yang intinya epithumianya.
Kejadian yang dilihat
Plato beberapa abad yang lalu, sekarang di Indonesia benar terjadi dalam setiap
pesta demokrasi rakyat disuguhkan dengan rayuan gombal irasional karena
iming-iming uang, rakyat yang seharusnya berdaulat penuh akan dirinya sebagai
manusia bebas tidak bisa berfikir secara rasional dan kritis.
Uang memang tidak bisa
dipungkir akan kebutuhannya untuk membiayai kegiatan politik, tetapi apakah
uang yang akan menjadi raja dalam perpolitikan Indonesia?. Sudah banyak
kejadian yang bisa dilihat kala uang menjadi raja dalam kegiatan politik,
berapa banyak kantor pemerintahan yang dirusak dan dibakar oleh massa pendukung
yang kalah dalam pemilihan kepala daerah, karena sikandidat sudah menghabiskan
uang ratusan miliar untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati
maupun walikota).
Rakyat Indonesia
gampang diperdaya untuk memilih calon pemimpin yang berkotbah manis bahwa “ia
berjuang demi rakyat, dan mencitai rakyat”, setelah habis berkotbah si calon
pemimpin membagi-bagikan paket sembako dan uang, apakah ini yang dicita-citakan
pada saat reformasi terjadi?.
Penutup
Demokrasi bukanlah
suatu sistem yang mapan dan dibutuhkan waktu yang lama serta jalan yang panjang
penuh lika-liku untuk membangun demokrasi di Indonesia. Pembagunan demokrasi
Indonesia sudah dimulai dari tahun 1998, perubahan konstitusi, pengembangan
ekonomi, pemilihan umum, penegakkan hukum dan pemikiran progresif merupak
sebuah proses yang harus dilalui dan dijalani untuk dapat mewujudkan demokrasi.
Uang bukanlah alat ukur
untuk mengukur keberhasilan demokrasi, kalau Uang sudah menjadi tolak ukur,
maka model ini menjadi sebuah otoriterianisme gaya baru yang menggunakan jubah
demokrasi.
Rakyat Indonesia harus sepakat
untuk menjadi pemilih yang berdaulat dan cerdas karena pemimpin yang berjuang
dengan uang akan menjadi otoriterianisme gaya baru. Partai Politik harus dapat
memberikan pendidikan politik kepada seluruh kadernya bahwa demokrasi nafsu
uang akan membawa kehancuran bagi demokrasi Indonesia yang sedang dibangun.
Harus diingat, “ Vox Populi, Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”.
[1]
Bahan diskusi Forum Freedom “Kebebasan dan Kebijakan Publik : Menelaah Kembali
Filsafat Kebebasan”, A.Setyo Wibowo, Jakarta, 4 April 2013, hal 3.
[2]
The Republic, edisi Leob Classical Library, terjemahan Paul Shorey,1970.
[3] A
Setyo Wibowo Anarki dalam Demokrasi, Majalah Basis, 23 April 2012
[4] Politeai
557e-558a