Jumat, 17 Mei 2013

Konflik Hal Yang Manusiawi

Dalam perjalanan hidup seorang manusia penuh dengan sejarah dan romantika yang berbeda, sejarah latar belakang turut menentukan manis pahitnya arti nilai kehidupan. Tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan setiap insan manusia punya nilai-nilai kehidupan.

Thomas Hobbes seorang filsuf berkata, manusia itu hidup dalam keadaan berjuang. Sebab tanpa demikian manusia akan jatuh tersungkur dimuka bumi. Perjuangan insan manusia pasti dipenuhi dengan intrik-intrik konflik, cepat atau lambat konflik pasti akan datang kepada sejarah insan manusia, tinggal bagaimana seorang insan manusia dapat melihat dan memaknai suatu konflik.

Konflik pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan konflik merupakan fenomena universal. Teori konflik dalam ilmu sosial pertama kali diperkenalkan pada dekade 1950-an hingga 1960-an, teori konflik ini pertama kali berkembang di daratan Eropa dan kemudian menyeberang ke benua Amerika Serikat berkat peran sejumlah teoritikus dan ilmuan sosial.

Teori konflik yang pada mulanya berkembang di Benua Eropa berakar dalam karya-karya Max, Weber, dan Simmel. Karya-karya Marx dapat dipandang sebagai titik tolak perkembangan teori konflik. Bagi Marx, sejarah manusia pada dasarnya merupakan sejarah perjuangan manusia.

Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan menyatakan, Bellum omnium contra omnes (perang semua, lawan semua) hal ini dapat terjadi ketika masyarakat tidak ada aturan yang secara efektif mampu mengendalikan hasrat manusia yang cenderung menjadi “serigala” bagi manusia yang lain (homo homoni lupus). Dalam hal ini Hobbes melihat bahwa manusia bisa berkonflik setiap saat tanpa membedakan tempat.

Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis konflik dapat diartikan sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik sendiri dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat dan lain sebagainya.

Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap kehidupan masyarakat karena tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.

Konflik dimana saja dan kapan saja bisa terjadi tanpa memandang tempat umum, tempat ibadah atau yang lainnya. Banyak contoh konflik bisa terjadi kalau ditempat umum seperti dalam masyarakat dan bernegara konflik dapat dilihat secara kasat mata tetapi bila konflik terjadi di tempat ibadah yang seharusnya sakral dan suci. Konflik agama yang dimaksud bukan konflik antara agama tetapi konflik sesama pengurus dalam suatu rumah ibadah.

Konflik ditempat ibadah biasanya tidak terlihat secara kasat mata tetapi bisa dirasakan, dimana terjadi saling “pukul-memukul” sesama pengurus rumah ibadah, dimana kelompok yang sedang berkuasa berubah menjadi tirani bagi kelompok yang lain dalam satu tempat rumah ibadah dan kelompok penguasa berusaha untuk memperoleh dominasi dalam budaya dan politik terlebih lagi untuk “ekonomi” dari kalangan jemaat melalui cara persuasi, paksaan atau merekayasa. Kekuatan dan jubah agama dipakai untuk berlindung serta dibuat untuk pemicu konflik.

Penutup

Konflik dapat dipahami secara tradisional dan kontenporer menurut Myers. Dalam pandangan tradisional bahwa konflik adalah hal yang buruk, sesuatu hal yang negative, merugikan dan harus dihindari. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan dan keterbukaan.

Padangan kontenporer mengenai konflik didasarkan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik harus dianggap sesuatu yang wajar didalam organisasi, konflik bukan dijadikan suatu hal yang deskrutif melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi untuk membangun organisasi.

Konflik sendiri dapat diselesaikan, banyak cara menyelesaikan konflik mulai dari cara berdialog untuk menemui jalan keluar bagi pihak-pihak yang berkonflik sampai dengan cara berperang menggunakan kekerasan untuk menujukan siapa yang kuat dan kalah.

Konflik harus dilihat sebagai jalan perjuangan terhadap nilai dan pengakuan, jangan takut untuk bertemu dengan konflik karena konflik adalah hal yang manusiawi dan konflik pasti ada jalan penyelesaianya.