Kamis, 25 Juli 2013

POLITIK NAFSU AKAN UANG



Situasi Indonesia menjelang pemilihan calon legislative DPRD Kota,Kabupaten, DPR RI serta pemilihan Presiden ditahun 2014 semakin memanas. Sejumlah partai politik menggelar aksi-aksi provokatif masyarakat, bahkan para kandidat Caleg sudah melakukan gerakan-gerakan “bawah tanah” yang dibungkus dengan kegiatan keagamaan dan hari-hari momentum.
Hal ini memang tidak salah, dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat bagaimana masyarakat secara perlahan-lahan diajarkan dalam berpolitik. Dalam sejarah perjalanan politik diIndonesia yang selama 32 tahun terkekang dalam rezim otoriter yang menggunakan jubah demokrasi, yang hakikatnya demokrasi tak mungkin menghalalkan otoritarianisme. Dengan jubah demokrasi Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun.
Kini, Indonesia sedang memasuki zaman demokrasi baru. Reformasi yang berlangsung pada 21 Mei 1998 merupakan puncak kemarahan rakyat Indonesia yang digerakkan oleh mahasiswa terhadap rezim otoriterianisme, yang berhasil melengserkan rezim Soeharto. Absennya demokrasi selama 32 tahun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, yaitu reformasi yang merancang kembali sendi-sendi demokrasi dari titik nol.
Demokrasi di Indonesia masih mempunyai secercah harapan, dengan kejadian Mei 1998 rakyat Indonesia mendesak agar praktek demokrasi dilakukan secara jujur dan adil, Rakyat Indonesia yakin bahwa demokrasi merupakan solusi untuk mewujudkan pemerintahan yang adil dan berdaulat, yang mencerminkan kehendak rakyat. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan masalah-masalah dan tantangan demokrasi di Indonesia.
Uang dan Demokrasi
Pasca 1998 Indonesia sudah menjalani pemilu 3 kali dan ditahun 2014 pemilu yang ke 4 kali, selama dua dekade sudah banyak kita lihat bagaimana hasil dari pemilihan umum, mulai dari pemilihan calon anggota legislative sampai pemilihan kepala daerah ditingkat provinsi, kota maupun kabupaten.
Fenomena tersebut menimbulkan sebuah harapan tentang trasnformasi demokrasi, yang akan melahirkan sebuah perubahan besar tentang pemaknaan dan penghayatan terhadap demokrasi. Tetapi disisi lain dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya arus balik tentang lahirnya demokrasi versi kaum Epithumia.[1]
Kata Epithumia pertama kali dijelaskan oleh Plato dalam bukunya The Republic[2], dimana Plato melihat Kebebasan epithumia menjadi anarkis[3], demokrasi yang digambarkan menunjukan kebebasan yang bisa dipratekkan. Hidup dalam rejim demokrasi artinya tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri, tidak ada orang lain yang berhak menyuruh kita hidup dengan cara tertentu. Tiap orang bebas berpendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia ingini (Politeia 557b).
Bila individu demokratis semacam itu Negara, maka hidup bersama menjadi kumpulan warna-warni mozaik yang tampak indah, mengesankan dan menarik hati bagi kaum berjiwa dangkal, seperti kanak-kanak dan kaum wanita (Politeia 557c). lebih dalam lagi, Plato melihat bahwa rejim demokrasi adalah rejim “bazaar of constitutions, pasar hukum” (politeia 557d) dimana segala macam aturan dipakai dengan bebas karena dianggap cocok dan menyenangkan semua yang berkepentingan atasnya. Dengan ironis, Plato memuji rejim demokrasi yang tampak ramai, meriah, dan menyenangkan karena mampu mengakomodasi setiap selera anggotanya. Pujian ini ironis karena dengan begitu Plato menunjukkan bahwa rejim bebas-bebasan yang kebablasan sama saja dengan tiadanya tatanan.
Kebebasan yang begitu dipuja dalam rejim demokrasi akan menghancurkan hidup bersama. Tidak ada lagi sense of duty sebagai warga Negara. Menjadi anggota polis (Negara-kota) seolah menjadi pengunjung bazaar, yang suka-suka saja tanpa mau diikat apa pun. Plato menggambarkannya demikian : “Merasa bebas paksaan menjalankan sebuah jabatan dalam polis, pun kalau sebenarnya mampu melakukannya, merasa tidak dipaksa ikut berperang saat yang lainnya pergi bertempur, tidak menjaga perdamaian saat yang lain melakukannya hanya karena tidak menginginkannya dan lagi dalam soal kebebasan mau memerintah dan menjadi anggota juri pengadilan melarangmu. Bukankah hal-hal itu yang dianggap menjadi hiburan menyenangkan dan paling mulia saat ini?”[4].
Kebebasan yang dibangga-banggakan rejim demokrasi ternyata kebablasan. Menjadi warga Negara dihidupi seenaknya. Saat lagi mau apa, maka dilakukan. Jika tidak mau, maka tidak mau melakukan, diam saja. Kewajiban memberikan kontribusi kepada publik, panggilan bertempur bela Negara atau tugas-tugas kewargaan ditundukkan pada selera perut, kriteria hanya mau atau tidak mau, dalam psikologi Platoisian disebut Epithumia yang berarti hidup seenak perut. Bagian jiwa diperut ke bawah yang isinya nafsu makan, minum dan seks (atau singkatnya, nafsu akan uang).
Bila prinsip hidup demokrasi adalah suka-suka, maka kualitas keputusan politis menjadi payah. Pemimpin politik dan kebijakan politik yang landasannya uang adalah rejim demokrasi yang intinya epithumianya.
Kejadian yang dilihat Plato beberapa abad yang lalu, sekarang di Indonesia benar terjadi dalam setiap pesta demokrasi rakyat disuguhkan dengan rayuan gombal irasional karena iming-iming uang, rakyat yang seharusnya berdaulat penuh akan dirinya sebagai manusia bebas tidak bisa berfikir secara rasional dan kritis.
Uang memang tidak bisa dipungkir akan kebutuhannya untuk membiayai kegiatan politik, tetapi apakah uang yang akan menjadi raja dalam perpolitikan Indonesia?. Sudah banyak kejadian yang bisa dilihat kala uang menjadi raja dalam kegiatan politik, berapa banyak kantor pemerintahan yang dirusak dan dibakar oleh massa pendukung yang kalah dalam pemilihan kepala daerah, karena sikandidat sudah menghabiskan uang ratusan miliar untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati maupun walikota).
Rakyat Indonesia gampang diperdaya untuk memilih calon pemimpin yang berkotbah manis bahwa “ia berjuang demi rakyat, dan mencitai rakyat”, setelah habis berkotbah si calon pemimpin membagi-bagikan paket sembako dan uang, apakah ini yang dicita-citakan pada saat reformasi terjadi?.
Penutup
Demokrasi bukanlah suatu sistem yang mapan dan dibutuhkan waktu yang lama serta jalan yang panjang penuh lika-liku untuk membangun demokrasi di Indonesia. Pembagunan demokrasi Indonesia sudah dimulai dari tahun 1998, perubahan konstitusi, pengembangan ekonomi, pemilihan umum, penegakkan hukum dan pemikiran progresif merupak sebuah proses yang harus dilalui dan dijalani untuk dapat mewujudkan demokrasi.
Uang bukanlah alat ukur untuk mengukur keberhasilan demokrasi, kalau Uang sudah menjadi tolak ukur, maka model ini menjadi sebuah otoriterianisme gaya baru yang menggunakan jubah demokrasi.
Rakyat Indonesia harus sepakat untuk menjadi pemilih yang berdaulat dan cerdas karena pemimpin yang berjuang dengan uang akan menjadi otoriterianisme gaya baru. Partai Politik harus dapat memberikan pendidikan politik kepada seluruh kadernya bahwa demokrasi nafsu uang akan membawa kehancuran bagi demokrasi Indonesia yang sedang dibangun. Harus diingat, “ Vox Populi, Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”.  
 


[1] Bahan diskusi Forum Freedom “Kebebasan dan Kebijakan Publik : Menelaah Kembali Filsafat Kebebasan”, A.Setyo Wibowo, Jakarta, 4 April 2013, hal 3.
[2] The Republic, edisi Leob Classical Library, terjemahan Paul Shorey,1970.
[3] A Setyo Wibowo Anarki dalam Demokrasi, Majalah Basis, 23 April 2012
[4] Politeai 557e-558a

Kamis, 04 Juli 2013

Menguji Jiwa Nasionalis Dunia Otomotif Indonesia



Keberadaan dunia otomotif Indonesia sudah menjadi sejarah yang berjalan di Republik ini, setiap dekade perjalanan perkembangan dunia otomotif Indonesia selalu dicatat dalam sejarah perjalananya, awalnya dunia otomotif Indonesia sejak zaman penjajahan yang dibawa oleh kapal dagang Belanda VOC dan terus berkembang sampai saat ini.

Begitu pesatnya perkembangan dunia otomotif Indonesia beserta ornament pendukungnya menjadi ujian bagi para penggiatnya. Dimana timbul pertanyaan apakah para penggiat dunia otomotif Indonesia mempunyai jiwa Nasionalisme, mengapa timbul pertanyaan jiwa Nasionalisme banyak jawaban atau gambaran yang bisa dilihat secara kasat mata tentang menguji Jiwa Nasionalisme Dunia Otomotif Indonesia.

Dunia otomotif  Indonesia lebih banyak menjadi konsumen daripada produsen bahkan masih jauh harapan kita kepada pemerintah untuk dapat mendukung produksi-produksi dalam negeri dalam industri otomotif, bila melihat dari Negara-negara yang berhasil membangun industri otomotifnya berujung kepada kebanggaan akan hasil produk dalam negerinya bahkan berani bersaing dengan produk-produk dengan brand merek yg sudah terkenal.

Semangat jiwa Nasionalisme ini wajib terus didengungkan dalam dunia otomotif Indonesia, jangan sampai setiap event otomotif tidak terlihat sisi Jiwa Nasionalisme karena baru event yang bisa diselenggarakan dan dinikmati oleh para penggiat dunia otomotif Indonesia. Sedangkan untuk membangun sebuah industri otomotif yang berskala Nasional dibutuhkan kerjasama sama banyak pihak terutama peran pemerintah untuk dapat melonggarkan sistem perijinan dan menghilangkan paradoks pemikiran berjiwa pejabat berubah menjadi pelayan public demi meningkatkan jiwa nasionalisme.