Sebuah Pelajaran
Walau Pilkada DKI
Jakarta tinggal menghitung hari dari sekarang yaitu tanggal 20 September
201, Kamis. Masih kental dalam ingtan kita dalam putaran Pertama
Pilkada DKI Jakarta dimana pasangan Jokowi dan Basuki dapat mengalahkan
pasangan incumbent Foke dan Nara dengan angka yang telak, padahal dalam
sebulan sampai minggu terakhir menjelang pemungutan suara seluruh
lembaga survei yang ada menjagoi Foke-Nara untuk memenangi Pilkada
Jakarta dalam satu putaran, alhasil terjadi piramida terbalik dimana ada
pasangan yang tidak diunggulkan menjadi juara dalam putaran pertama.
Direktur
Peneliti LSI Arman Salam mengaku perolehan suara pasangan Jokowi- Ahok
cukup fenomenal dan memutarbalikkan sejumlah survei yang ada, termasuk
survei LSI. Dikatakannya, “Bukan lagi soal imej, tetapi ini soal jejak
keberhasilan yang diingat oleh masyarakat,” katanya. Beberapa pengamat
mengatakan, Keunggulan pasangan Jokowi – Ahok pada putaran pertama
Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan warga Ibu Kota sangat menginginkan
perubahan.
Sepertinya pada tahun 2007 Foke yang saat itu maju
untuk pertama kali dalam pilkada berhasil mengkonsulidasikan
partai-partai besar yang ada di Jakarta melawan satu Partai PKS yang
menjagokan Adang Dorojatun dan Dhani Anwar, Foke mendapatkan perlawanan
sengit dari Adng yang berhasil mengambil suara sebesar 47% sedangkan
Foke jauh dari target yang menargetkan 60% suara dari seluruh DPT.
2007
dengan 2012 kejadian hampir sama, dulu tahun 2007 PDI P ada di team
Foke, sekarang PDI P bergabung dengan Gerindra, tetapi dengan kemiripan
Foke dapat mengabungkan kekuatan partai yg pada putaran pertama terpecah
belah, sekarang semua ada dibarisan Foke, tetapi timbul pertanyaan
apakah nanti partai-partai yang berkoalisi dapat menjalankan roda
organisasi untuk dapat memenangkan pasangan Foke-Nara atau hanya untuk
mengambil keuntungan dari politik praktis, ini dapat dilihat dari rekam
jejak apa yg sudah pernah terjadi di 2007 Foke tidak tembus 60% suara
yang notabene mendapat dukungan penuh dari parpol yang ada. Semoga saja
dari pengalaman tahun 2007 menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk
pasangan Foke-Nara tahun ini.
Perubahan Yang Diharapkan
Kasus
kemunculan pasangan Jokowi-Basuki sebagai penantang terkuat incumbent,
mengingatkan kita kepada kasus pilkada Jawa Barat pada tahun
2008. Penulis kembali teringat pilkada Jabar 2008, dimana pasangan warga
biasa yang muda, Heryawan-Dede Yusuf mampu menjungkirkan optimisme
pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI Iwan Sulanjana
(mantan Pangdam Siliwangi), serta pasangan Jenderal TNI (Pur) Agum
Gumelar (Mantan Menko Polkam)-Nu’man Abdulhakim (Wagub Jabar). Danny
didukung Golkar dan Partai Demokrat, Agum diusung PDIP, PPP,PKB , PBB,
PKPB, PBR dan PDS, sementara Heryawan hanya didukung PKS dan
PAN.Kemenangan Heryawan-Dede Yusuf lebih dikarenakan keduanya adalah
pasangan biasa saja, bersih, sederhana dan bukan pejabat atau mantan
pejabat. Sementara dua pasangan lainnya adalah tokoh-tokoh hebat, bak
selebrities yang diberitakan seperti tokoh tak terkalahkan. Dua pejabat
Gubernur-Wakil Gubernur dan dua Jenderal yang demikian populer di media.
Heryawan dan Dede Yusuf kemudian dipilih warga Jawa Barat pada umumnya
karena turunnya kepercayaan masyarakat Jabar terhadap mereka yang sudah
menjabat, terlebih ada kasus terhadap incumbent.
Nah, demikian
kini nampaknya yang terjadi di pilkada DKI Jakarta. Pergeseran keputusan
pada minggu-minggu terakhir perhatian konstituen di ibukota, karena
adanya keinginan sebuah harapan perubahan terhadap kejenuhan atas
masalah yang demikian complicated di Jakarta. Pemilih DKI
kemudian mencari sosok diantara pasangan yang ada, dan Jokowi kemudian
menjadi ikon harapan perubahan, dengan catatan yang terekam karena
bersih, tidak ada masalah, pengabdi serta pelayan masyarakat, sederhana,
tidak muluk-muluk, realistis. Oleh karena itu maka jadilah Jokowi, dari
tokoh lokal di Solo menjadi sosok yang fenomenal yang mereka harapkan
bisa memperbaiki Jakarta yang semrawut ini.
Pengamat politik dari
LIPI, Siti Zuhro mengatakan, “Sebelum kampanye pilkada, sosok Jokowi
sudah dicitrakan sebagai kepala daerah yang sukses dan mampu membuat
perubahan. Nah, prestasi tersebut mampu menarik simpati pemilih,
terutama anak-anak muda yang punya semangat perubahan,” katanya.
Sementara Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) Girindra Sandino mengungkapkan, keunggulan Jokowi-Ahok karena
pemilih secara emosional bersimpati pada figur Jokowi. “Faktor utama
keunggulan Jokowi lebih terletak pada psikologi politik pemilih yang
secara emosional bersimpati pada figur Jokowi,” katanya. Menurut
Sandino, pemilih Jokowi bukan hanya mereka yang mempunyai ikatan
kedaerahan, melainkan juga lapisan masyarakat bawah dan menengah yang
menolak “status quo” politik. Mesin politik parpol pengusung
terutama Partai Demokrat dan team sukses juga tidak mampu menunjukkan
kapasitas sebagai organ pemenangan.
warga Jakarta sudah jenuh dengan kerasnya hidup di ibukota, "boring" dengan macet dan ulah para pengabdi masyarakat yang berkuasa itu. "Boring"
dengan berita korupsi para pemegang amanah. Karenanya, kekuatan calon
pemenang adalah siapa yang bersih dan mau menjadi pengabdi masyarakat. Vox Populi, Vox Dei.. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan