Senin, 17 September 2012

Sebuah Pelajaran dan Perubahan Yang Diharapkan

Sebuah Pelajaran
Walau Pilkada DKI Jakarta tinggal menghitung hari dari sekarang yaitu tanggal 20 September 201, Kamis. Masih kental dalam ingtan kita dalam putaran Pertama Pilkada DKI Jakarta dimana pasangan Jokowi dan Basuki dapat mengalahkan pasangan incumbent Foke dan Nara dengan angka yang telak, padahal dalam sebulan sampai minggu terakhir menjelang pemungutan suara seluruh lembaga survei yang ada menjagoi Foke-Nara untuk memenangi Pilkada Jakarta dalam satu putaran, alhasil terjadi piramida terbalik dimana ada pasangan yang tidak diunggulkan menjadi juara dalam putaran pertama.
Direktur Peneliti LSI Arman Salam mengaku perolehan suara pasangan Jokowi- Ahok cukup fenomenal dan memutarbalikkan sejumlah survei yang ada, termasuk survei LSI. Dikatakannya, “Bukan lagi soal imej, tetapi ini soal jejak keberhasilan yang diingat oleh masyarakat,” katanya. Beberapa pengamat mengatakan,  Keunggulan pasangan Jokowi – Ahok pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2012 membuktikan warga Ibu Kota sangat menginginkan perubahan.
Sepertinya pada tahun 2007 Foke yang saat itu maju untuk pertama kali dalam pilkada berhasil mengkonsulidasikan partai-partai besar yang ada di Jakarta melawan satu Partai PKS yang menjagokan Adang Dorojatun dan Dhani Anwar, Foke mendapatkan perlawanan sengit dari Adng yang berhasil mengambil suara sebesar 47% sedangkan Foke jauh dari target yang menargetkan 60% suara dari seluruh DPT.
2007 dengan 2012 kejadian hampir sama, dulu tahun 2007 PDI P ada di team Foke, sekarang PDI P bergabung dengan Gerindra, tetapi dengan kemiripan Foke dapat mengabungkan kekuatan partai yg pada putaran pertama terpecah belah, sekarang semua ada dibarisan Foke, tetapi timbul pertanyaan apakah nanti partai-partai yang berkoalisi dapat menjalankan roda organisasi untuk dapat memenangkan pasangan Foke-Nara atau hanya untuk mengambil keuntungan dari politik praktis, ini dapat dilihat dari rekam jejak apa yg sudah pernah terjadi di 2007 Foke tidak tembus 60% suara yang notabene mendapat dukungan penuh dari parpol yang ada. Semoga saja dari pengalaman tahun 2007 menjadi sebuah pelajaran yang berharga untuk pasangan Foke-Nara tahun ini.
Perubahan Yang Diharapkan
Kasus kemunculan pasangan Jokowi-Basuki sebagai penantang terkuat incumbent, mengingatkan kita kepada kasus pilkada Jawa Barat pada tahun 2008. Penulis kembali teringat pilkada Jabar 2008, dimana pasangan warga biasa yang muda, Heryawan-Dede Yusuf mampu menjungkirkan optimisme pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI Iwan Sulanjana (mantan Pangdam Siliwangi), serta pasangan Jenderal TNI (Pur) Agum Gumelar (Mantan Menko Polkam)-Nu’man Abdulhakim (Wagub Jabar). Danny didukung Golkar dan Partai Demokrat, Agum diusung PDIP, PPP,PKB , PBB, PKPB, PBR dan PDS, sementara Heryawan hanya didukung PKS dan PAN.Kemenangan Heryawan-Dede Yusuf lebih dikarenakan keduanya adalah pasangan biasa saja, bersih, sederhana dan bukan pejabat atau mantan pejabat. Sementara dua pasangan lainnya adalah tokoh-tokoh hebat, bak selebrities yang diberitakan seperti tokoh tak terkalahkan. Dua pejabat Gubernur-Wakil Gubernur dan dua Jenderal yang demikian populer di media. Heryawan dan Dede Yusuf kemudian dipilih warga Jawa Barat pada umumnya karena turunnya kepercayaan masyarakat Jabar terhadap mereka yang sudah menjabat, terlebih ada kasus terhadap incumbent.
Nah, demikian kini nampaknya yang terjadi di pilkada DKI Jakarta. Pergeseran keputusan pada minggu-minggu terakhir perhatian konstituen di ibukota, karena adanya keinginan sebuah harapan perubahan terhadap kejenuhan atas masalah yang demikian complicated di Jakarta. Pemilih DKI kemudian mencari sosok diantara pasangan yang ada, dan Jokowi kemudian menjadi ikon harapan perubahan, dengan catatan yang terekam karena bersih, tidak ada masalah, pengabdi serta pelayan masyarakat, sederhana, tidak muluk-muluk, realistis. Oleh karena itu maka jadilah Jokowi, dari tokoh lokal di Solo menjadi sosok yang fenomenal yang mereka harapkan bisa memperbaiki Jakarta yang semrawut ini.
Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro mengatakan, “Sebelum kampanye pilkada, sosok Jokowi sudah dicitrakan sebagai kepala daerah yang sukses dan mampu membuat perubahan. Nah, prestasi tersebut mampu menarik simpati pemilih, terutama anak-anak muda yang punya semangat perubahan,” katanya. Sementara Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino mengungkapkan, keunggulan Jokowi-Ahok karena pemilih secara emosional bersimpati pada figur Jokowi. “Faktor utama keunggulan Jokowi lebih terletak pada psikologi politik pemilih yang secara emosional bersimpati pada figur Jokowi,” katanya.  Menurut Sandino, pemilih Jokowi bukan hanya mereka yang mempunyai ikatan kedaerahan, melainkan juga lapisan masyarakat bawah dan menengah yang menolak “status quo” politik. Mesin politik parpol pengusung terutama Partai Demokrat dan team sukses juga tidak mampu menunjukkan kapasitas sebagai organ pemenangan.
warga Jakarta sudah jenuh dengan kerasnya hidup di ibukota, "boring" dengan macet dan ulah para pengabdi masyarakat yang berkuasa itu. "Boring" dengan berita korupsi para pemegang amanah. Karenanya, kekuatan calon pemenang adalah siapa yang bersih dan mau menjadi pengabdi masyarakat. Vox Populi, Vox Dei.. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan

Senin, 10 September 2012

5 Menit Untuk Jakarta


Pilkada Gubernur DKI Jakarta memasuki babak final, pesta rakyat tanggal 11 Juli yang lalu warga Jakarta terlebih bagi para pemilih berbondong-bondong datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan siapa yang layak untuk menjadi nomor 1 di DKI Jakarta, tetapi lebih banyak lagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkada putaran pertama, dalam putaran pertama pilkada hasilnya yang maju dalam putaran ke dua adalah Fauzi Bowo-Nahcrowi Ramli, Joko Widodo-Basuk Tjahya.
Dalam jelang putaran ke dua pilkada, ke dua pasangan ini sudah banyak melakukan gerakan-gerakan, isu, bahkan melakukan kampanye terselubung demi dapat memenangkan pilkada DKI Jakarta, isu-isu yang berbau SARA sangat banyak dijumpai bukan itu saja black campain (kampanye hitam) juga ikut meramaikan suasana. Tapi semua isu itu tidak membuat khawatir, panik bagi warga Jakarta, dan Jakarta sendiri sampai saat ini masih dalam keadaan aman, ini semua karena pengetahuan informasi dan kecerdasan warga Jakarta yang sudah sangat teruji dan patut untuk diacungi jempol.
Warga Jakarta khususnya pemilih harus menyadari bahwa hukum alam tidak bisa dilawan. Melawan hukum alam hanya menghasilkan kerusakan, kesengsaraan, dan penderitaan. Penghormatan terhadap keberagaman akan menciptakan harmoni. Itulah sebabnya para pendiri bangsa menciptakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Siapapun yang akan memimpin Ibukota Jakarta harus bisa menjada kedamaian kota dan yang kalah harus mempunyai jiwa ksatria.
Maka dari itu kita sebagai warga Jakarta terlebih yang mempunyai hak pilih dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta gunakanlah hati yang jernih, bersih serta menjadi pemilih yang berwibawa untuk dapat menyelamatkan Kota Jakarta dari kehancuran, karena untuk menjadi seorang Gubernur bukan hanya menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan tapi juga akan menjadi panutan moral bagi warga yang dipimpinnya. Jika salah dalam 5 menit, Kota Jakarta akan salah dalam 5 tahun. Dan bagi kedua pasangan ini harus mempunyai mental dan kecerdasan politik, kalau tidak mempunyai yang ada hanya sebagai benalu dalam negara ini.
   

Sabtu, 08 September 2012

Retrorika Dalam Kepemimpinan

Retorika bersumber dari bahsa latin Rhetorica yang berarti Ilmu Bicara.  Cleanth Brooks dan Robert Pen warren dalam bukunya, Moderen Rhetoric, mengartikan bahwa retorika sebagai the art of using language effectively atau Seni Penggunaan bahasa secara efektif. Dalam arti sempit bahwa recara penggunaan bahasa, cara menyampaikan kata-kata melalui bicara untuk menyakinkan lawan komunikasi.
Retorika sendiri berawal pada abad kelima sebelum masehi di Yunani yang ditemukan oleh kaum Sofis saat mengembara dari tempat yang satu ke tempat yang lainn untuk menyebarkan pengetahuan politik, sistem pemerintahan dengan penekanan terutama dalam kemampuan berpidato, sistem pemerintahan kaum Sofis sendiri menggunakan sistem suara terbanyak, makanya diperlukan suatu retorika untuk mengajak, membujuk seseorang dan rakyat untuk mencapai kemenangan dalam acara-acara pemilihan, makanya banyak teknik-teknik terbalik demi mencapai kemenangan.
Plato seorang filsuf dari Yunani mengatakan, bahwa retorika bertujuan memberikan kemapuan menggunakan bahasa yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam, terutama dalam bidang politik. Soekarno the founding father kita, adalah seorang orator yang ulung mengunakan bahasa untuk mempengaruhi dan membujuk rakyat untuk melawan para penjajah.
Gambaran tentang retorika yang diatas mungkin masih sedikit dari apa yang ada didalam kelas-kelas komunikasi, karena retorika sangat penting dalam sebuah kepemimpinan. Sekarang bisa kita lihat banyak pemimpin-pemimpin kita yang kurang handal dalam beretorika, sampai-sampai dalam setiap pemilihan ketua baru dalam sebuah organisasi banyak kandidat yang tidak menggunakan  retorika.
Jangan pernah beranggapan salah dalam kata retorika, mungkin masih banyak orang yang menganggap bahwa retorika hanya jago bicara, tapi jarang bekerja, hal-hal sesat seperti ini yang banyak menghantui calon-calon pemimpin.
Untuk seorang pemimpin bukan hanya jago bekerja tapi juga harus jago beretorika, jika tidak jago dalam beretorika maka dia akan gagal dalam masa kepemimpinanya, dalam sejarah kepemimpinan banyak pemimpin yang menggunakan retorika untuk mempengaruhi bawahanya, rakyatnya bahkan untuk mengentarkan semangat lawanya. Retorika sendiri sangat ampuh untuk mengembalikan semangat yang pudar dalam medan peperangan. Memang harus diakui bahwa retorika seorang calon pemimpin pasti akan sulit karena seorang calon pemimpin akan terfokus bagimana cara untuk dapat menang dalam pemilihan.
Tetapi mau tidak mau, seorang calon pemimpin harus siap menggunkan ilmu retorika politik untuk dapat mempengaruhi dan mengajak audens agar dapat memilihnya dan jangan pernah takut untuk beretorika setiap saat apalagi berjumpa dengan lawan, karena retorika kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang baik dan disegani oleh lawan-lawan. Selamat beretorika.

KORUPSI

Pertarungan putaran dua (2) Pilkada DKI Jakarta tampaknya akan semakin seru, dimana pada pertarungan pertama pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahya (Ahok) yang meraih hasil 43 % suara pemilih berhasil unggul dari pasangan incumbent Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli (Nara) dengan 33 % suara.
Banyak analisa dan teori bahwa kekalahan incumbent dalam putaran pertama adalah kepiawaian, kehebatan serta kecerdikan team sukses dari Jokowi untuk mengubah mindset (pola pikir) pemilih untuk memilih pasangan Jokowi-Ahok dalam putaran pertama Pilkada. Dengan keadaan yang kalah telak dari pasangan Jokowi, Foke dengan team berbenah diri dengan segera merubah strategi dan taktik dalam memenangi Pilkada dalam putaran kedua.
Sekarang dalam bulan ramadhan ini, banyak isu SARA (Suku,Agama,Ras,Golongan) terus berkembang, kampanye yang dijadwalkan oleh KPUD DKI Jakarta pada bulan September telah banyak dilanggar dengan dikemas dalam bentuk seremoni-seremoni yang bertemakan keagamaan, bahkan yang sangat menarik perhatian adalah dari Bang H.Rhoma Irama, yang sekarang ini sedang dalam pemeriksaan apakah Bang Oma terbukti atau tidak dalam dakwahnya berkampanye dan mengandung unsur SARA.
Tetapi itu bukan menjadi hal yang sangat penting karena isu SARA dalam kampanye hitam sudah biasa terjadi di pesta demokrasi di Indonesia, dan bila dilihat dalam kondisi masyarakat Jakarta yang multi komplek serta cerdas mungkin isu SARA sudah usang dan tidak laku lagi dalam hal seperti ini, yang harus diingat dalam memasuki putaran kedua Pilkada DKI Jakarta adalah tentang kasus Korupsi kedua pasangan tersebut.
Sudah banyak pengguna social media seperti twitter, facebook dan yang lainnya yang mengupas tentang korupsi kedua pasangan,? Karena dalam kampanye pada putaran pertama kedua pasangan belum telihat kedua-duanya berteriak tentang pemberantasan korupsi di tubuh Pemprov DKI Jakarta.
Pemilih juga harus jeli dan melihat banyak berita, dimana pasangan incumbent pernah dilaporkan oleh berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu, para aktivis anti korupsi melaporkan Foke dengan dugaan Foke melakukan Abose Of Power (Penyalahgunaan kekuasaan) serta dugaan mengkorupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Bahkan hal yang sangat mengejutkan terjadi di awal tahun 2012, Priyanto yang menjabat selaku Wakil Gubernur DKI Jakarta mengagetkan warga Jakarta dengan mengirimkan surat ke Menteri Dalam Negeri perihal pengunduran dirinya sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta. Priyanto beralasan bahwa selama menjadi wakil Gubernur DKI Jakarta tidak pernah difungsikan oleh Gubernur, semua urusan diambil alih oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Fauzi Bowo.
Lebih jauh lagi Priyanto memberanikan diri menerbitkan buku yang isinya tentang alasan dirinya mengundurkan diri sebagai wakil gubernur, korupsi pada tingkat kelurahan sampai Gubernur serta APBD, dalam buku tersebut semua dapat dilihat dengan rinci dan gamblang. Dari salah satu akun terkenal di dunia twitland yaitu @triomacan 2000 sebagai akun wikileaksnya Indonesia yang membuka kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat di Negara ini, dalam akun tersebut Foke terlibat dalam penjualan lahan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fasos dan Fasum) dengan Bandar-bandar property.
Kita tahu bahwa fasum dan fasos ini sangat penting bagi warga Jakarta yang tiap tahun mengalami bencana banjir, karena fasum dan fasos ini sangat diperlukan oleh warga Jakarta bahkan program dari pemprop DKI Jakarta sendiri menargetkan ruang terbuka hijau sebesar 30 % dari seluruh lahan yang ada di Jakarta dan jikalau benar bahwa Foke telah menjual lahan fasos dan fasum seperti apa yang disebar oleh @triomacan 2000 maka Fauzi Bowo sudah tidak layak lagi untuk memimpin Jakarta ke dua kalinya.
Maka dari itu kita sebagai warga Jakarta terlebih yang mempunyai hak pilih dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta gunakanlah hati yang jernih, bersih serta menjadi pemilih yang berwibawa untuk dapat menyelamatkan Kota Jakarta dari kehancuran, karena untuk menjadi seorang Gubernur bukan hanya menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan tapi juga akan menjadi panutan moral bagi warga yang dipimpinnya.

1001 Alasan Untuk Kekuasaan

Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan)....
Kalimat pembuka ini mungkin sudah sering terdengar setiap ada pesata rakyat lima tahunan. Dulu 40 tahun yang silam pada saat negara ini masih berbentuk demokrasi tunggal dan terpimpin, rakyat dan pemilih akan sedikit terpasung dalam menetukan hak pilihnya, setelah terjadi era reformasi yang diawali pada tahun 1998 arah dan sistem ketatanegaraan kita mengalami perubahan yang cukup drastis, arah kekuatan dan kekuasaan sudah mulai beranjak yang dahulu terpusat di sentral Jakarta sekarang mulai berubah dengan masuk ke daerah-daerah propinsi dan kabupaten yang baru.
Dahulu yang kita ketahui pemilihan kepala daerah yang menentukan Alm.Suharto dan tahap loby-loby di DPRD Propinsi Tingkat I maupun pada Tingkat II, sekarang dengan adanya otonomi daerah banyak propinsi dan kabupaten yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pemilukada DKI Jakarta yang baru 2 kali dilaksanakan, tetapi sudah memberi pelajaran yang berharga bagi warga dan pemilih yang ada di Jakarta, pada tahun 2007 s/d 2012 hanya ada dua pasangan yaitu Fauzi Bowo-Prijanto, sekarang pada tahun 2012 s/d 2017 terdapat enama pasangan. tetapi yang sangat mengharukan pada awal massa kampanye sudah banyak terlihat gaya keangkuhan, anggap enteng lawan, rasa yakin yang berlebihan yang akhirnya membuat pilkada Jakarta masuk dalam 2 putaran.  
Peperangan yang akan berakhir akhri tahun 2012 ini tampaknya akan pertarugan 2 tokoh, tokoh 1 yaitu Fauzi Bowo, siapa yang tak kenal dengan namanya Fauzi Bowo yang sudah mengabdikan separuh hidupnya untuk Jakarta, karena beliau adalah pegawai negeri sipil (PNS) murni yang bertugas di Pemprop DKI Jakarta, tokoh konvesional dengan gayanya yang khas, kaku, dibaratkan guru ditahun 70 sampai diera 90 dimana ditangan kananya selalu ada penggaris untuk memukul murid-murid yang nakal, disis lain beliau tahu akan permasalahan DKI Jakarta yang sangat multi komplek karena di Jakarta ada semua mulai dari yang Sajadah sampai haram Jadah. Sedangkan tokoh ke 2 adalah seorang tokoh muda yang mempunyai branding anak gaul, luwes, tidak ada acara protokoler, tokoh ini adalah Joko Widodo. Beliau juga adalah walikota Solo. Yang ingin bertarung untuk menjadi orang nomor satu di Ibukota Jakarta
Dalam memasuki putaran ke 2 pilkada DKI Jakarta, semua kandidat memakai semua strategi untuk dapat berkuasa di DKI Jakarta, mulai isu SARA, karena kita ketahui bahwa pasangan dari Joko Widodo adalah etnis, sedangkan Fauzi Bowo dan pasangannya adalah putra daerah.
yang harus diingat oleh team sukses ke dua pasangan bahwa Ibukota Jakarta semua etnis, semua agama ada disini, jika banyak pihak yang berperang dengan menghembuskan isu SARA pasti tidak begitu laku lagi, karena banyak alasan pemilih Jakarta tidak termakan dengan isu yang berbau SARA
Demi sebuah kekuasaan ke dua tokoh ini akan bertarung secara man to man marking, kenapa karena sekarang mereka hanya berdua bukan lagi berenam. Pertarungan dalam putaran ke dua ini pasti akan lebih seru dan mengasyikan, disini akan terlihat kualitas dari team sukses, apakah para team sukses berhasil memenangkan dan meraih simpati dari para calon pemilih, atau para team sukses hanya menjadi penumpang gelap demi sesuatu, menjadi petualang atau menjadi baladika untuk kandidatnya naik ke tampuk kekuasaan.
Dalam bulan ramadhan ini semoga saja tidak ada isu-isu SARA yang berkembang ditengah masyarakat yang akan berujung merugikan kita semua, lebih baik dalam bulan ini digunakan untuk merefleksikan diri, jangan hanya terpaku untuk sebuah kekuasaan saja.
Untuk kedua pasangan yang akan bertarung juga harus dapat menetralisir segala tindakan anak buah atau team sukses agar jangan terjadi mob demokrasi karena yang rugi bukan hanya team sukses tapi warga jakarta yang langsung terkena akan imbas dari konflik perebutan kekuasaan.

SBY "Disandera" Demokrat

Soesilo Bambang Yudhoyono atau yang biasa disebut SBY Presiden RI dan juga selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat,partai yang banyak membantu SBY untuk berkuasa selama 8 tahun ini. Tampaknya menjadi sebuah "bom waktu"bagi SBY,keluarga dan para koleganya.
Mengapa demikian,karena bila dilihat selama kepemimpinan ketua umum yang baru Anas Ubarningrum,partai Demokrat tak henti-hentinya diguncang prahara,badai dari luar maupun dari internal partai.Hal-hal ini dapat dilihat dimana pada saat rombongan Ketua Umum beserta Sekjen diusir secara paksa dan memalukan dari Maluku Utara oleh para pengurus DPD Partai Demokrat Maluku Utara, bahkan yang terhangat digelarnya acara pertemuan seluruh ketua DPD yang ada di Indonesia serta pertemuan para deklator dan pendiri partai di Hotel Borobudur yang tidak mengikut sertakan Anas dalam acara tersebut.
Isu yang berkembang di media massa bahwa acara yang digelar oleh Sutan Bhatu Ghana Siregar adalah untuk mengkudeta Anas dari tampuk Ketua Umum Partai,tetapi Sutan Bhatu Ghana mengelak bahwa acara tersebut hanya forum silahturahmi saja. SBY dalam pidato di hadapam para deklator dan pendiri partai dengan lantang mengatakan bahwa kader yang terlibat korupsi lebih baik keluar dari partai dan jangan pernah coba-coba untuk main-main dengan APBD dan APB ini merupakan sebuah sinyal kegalauan dan kegelisahan para pendiri partai Demokrat dimana banyak kader yang terlibat dal kasus tindak pidana korupsi.
Apabila dilihat dari posisi dan struktur apakah berani SBY mengambil sebuah tindakan yang tegas untuk menyelamatkan partai Demokrat dari ambang kehancuran?? SBY sendiri pada sekarang ini sudah "disandera"oleh kekuatan pengurus DPP Partai Demokrat mulai dari Ketua Umum,apalagi Sekjen yang notabene adalah anak biologis SBY sendiri.
SBY dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk diambil dan dimainkan, kalau diambil tindakan konfrontatif dengan Anas SBY akan mengorbankan Edhi Baskoro (Ibas),kalau tidak diambil keputusan para pendiri dan deklator akan memainkan "pengusuran"Anas sebagai ketua umum.
Pilihan-pilihan ini hanya SBY yang menjawabnya,tetapi bila dirinya dilihat sebagai pemimpin yang berani,tegas dan bijaksana SBY harus berani berkorban demi Partai Demokrat dan memenangkan pemilu di 2014 dan SBY sekarang ini jangan galau menghadapi permainan bidak-bidak politik,karena seorang politis harus mempunyai mental politik kalau tidak mempunyai mental tersebut,maka dia akan menjadi benalu dalam negara.

Retrorika Pancasila, Pancasila Retrorika

Retrorika Pancasila, Pancasila Retrorika
1 Juni 1945 menjadi tanggal yang bersejarah bagi bangsa ini dimana lahirnya sebuah Ideologi Bangsa yang bernama Pancasila, The Founding Father Soekarno yang menemukan sekaligus penggagas dari Pancasila ini dengan gagah berani menawarkan Pancasila kepada dunia melalui sidang umum PBB tahun 1960 sebagi ideologi baru disamping ideologi Kapitalisme dan Komunisme.
Soekarno dalam rapat dengan Badan Penyelidik Uasaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia langsung memperkenalkan Pancasila. sudah 67 tahun Pancasila hidup di Bangsa ini tetapi dalam 14 tahun era reformasi ini Pancasila banyak mengalami turbelensi, kekosongan udara bahkan gerakan-gerakan ekstrem berniat menggantikan Pancasila menjadi ideologi yang berdasarkan agama tertentu menjadi ideologi bangsa, karena gerakan-gerakan ekstrem ini menilai bahwa Pancasila lahir dari seorang manusia bukan turun dari wahyu sang Khalik jadi bukan harga mati dan wajib dirubah hukumnya.
Tapi harus diingat dengan jelas bahwa pancasila dari jaman ke jaman belum berubah fungsi dalam hukum Pancasila harus menjadi Ground norm (norma dasar) untuk membuat hukum atau undang-undang di negara ini, memang harus diakui secara de facto negara yang nota bene sebagai gerbang terakhir dalam mempertahankan Pancasila malah terkesan menghilang atau "tutup mata" dalam menjaga eksistensi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dimana pihak-pihak yang mengaku dirinya kelompok mayoritas dengan gampangya menindas pihak-pihak minoritas, pada hal dalam sila perttama dari Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, ke 2 kemanusiaan yang Beradab.
Dari bunyi ke 2 sila itu, negara sewajibnya dan harus menjaga kelompok-kelompok minoritas dari kekejaman kelompok mayoritas, karena apa yang disuarakan oleh kelompok mayoritas belum tentu mewakili suara majority demi keutuhan NKRI. Tindakan anarki yang sering dilancarkan oleh kelompok mayoritas dengan tameng warga yang minim dengan segala pengetahuan terus terjadi bahkan tidak segan para kelompok ini melakukan perbuatan melawan hukum demi menekan negara dan menyerang kelompok minoritas.
Apalagi dengan banyaknya kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis agama, negara terkesan diam dan gentar menghadapi tekan yang mereka lakukan, ini bisa dilihat dari berbagai macam kasus, seperti kasus Lady Gaga, negara harus rela dipinjam kekuatannya dapat melarang Lady Gaga untuk menggelar konser di negeri "suci"ini karena pemuka agama telah gagal untuk meyakinkan para umatnya akan kebiasan, tingkah laku Lady Gaga diatas panggung "bisnis".
Kejadian ini mungkin hanya bagian kecil dari kejadian-kejadian yang sering terjadi di bangsa ini dalam hal pengingkaran ideologi bangsa Pancasila, seharusnya negara jangan terbiasa menggunakan Pancasila dalam hal-hal protokoler tapi juga harus mulai dimasukan kembali dalam kurikulum pendidikan dan Pancasila jangan hanya jadi retrorika tapi harus dapat di implenmantasikan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa karena dari sila pertama sampai sila ke lima, Pancasila sudah mengakomodir semua golongan yang ada di Indonesia, tidak ada kelompok mayoritas dengan slogan-slogan tertentu dan tidak ada kelompok minoritas yang hidupnya dalam tekanan, semua harus bisa hidup berdampingan dan beradab demi keadilan sosial bagi semuanya.
PANCASILA ABADI, NKRI HARGA MATI