Senin, 29 November 2010

Persamaan Antara Soekarno dan Mao Tze Tung

PERSAMAAN ANTARA SOEKARNO DAN MAO TZE TUNG

Tulisan ini dibuat karena mendapat pengalaman pribadi penulis yang tidak disengaja, karena dalam saat berbicara dengan salah warga Negara yang peduli terhadap Negeri tercintanya yang dari hari ke hari semakin rusak dan semakin sakit, dimana masyarakatnya ingin cepat kaya, rakus,egosentris (memikirkan diri sendiri) bahkan lainnya lagi.
Kenapa Bangsa Indonesia selama bergulirnya reformasi bukan mendapat perbaikan malah mendapat kehancuran, di segala sudut kemasyarakatan telah terjadi degdragasi moral, bahkan narasumber ini mengatakan , “coba lihat saat Bangsa lain berebut untuk membangun Bangsa, kenapa yang terjadi saat ini kita sesama anak Bangsa malah saling menjatuhkan”.
Akhir singkat kata, nara sumber tersebut mengambil sebuah buku tentang biografi pemimpin Besar Republik Rakyat China Mao Tze Tung dan Presiden RI Pertama Ir Soekarno, dari ke dua (2) buku tersebut di ambil sebuah kesimpulan dimana terjadi sebuah persamaan antara Mao dan Bung Karno, yaitu :
Soekarno Mao Tze Tung
1. Berfikir untuk Negara Berfikir untuk Negara
2. Membangun mentalitas Bangsa Membangun mentalitas Bangsa
3. Menanamkan Nasionalisme Menanamkan Nasionalisme
4. Jadi Incaran pihak kapitalisme Jadi Incaran Pihak Kapitalisme
5. Suka dengan perempuan Suka dengan perempuan

Dengan persamaan ke dua Pemimpin ini, yang membuat ketakutan para pihak Kapitalisme, Neoliberalisme dan Kolonialisme dan bila kita dapat berandai-andai jika ke Dua Pemimpin ini masih hidup mungkin tatanan dunia akan berubah dan lebih lagi untuk Bangsaku tercinta tidak ada lagi rakyat yang menderita dan sengsara.

Rabu, 10 November 2010

SUKU BATAK

Batak adalah nama suku bangsa di Indonesia. Suku ini bermukim di Sumatra Utara Suku Batak ini berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia. Diperkirakan di wilayah Jabodetabek saja sudah mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Lebih banyak orang Batak bermukim di luar daerah asalnya yakni Tapanuli, Simalungun, dan Karo. 14% penduduk kota Medan adalah orang Batak, sehingga secara nasional orang Batak sering disebut sebagai orang Medan, karena kota Medan adalah kota terbesar di Sumatera Utara dengan penduduk 2,3 juta jiwa dan pertumbuhan kota yang sangat pesat yang di dominasi oleh etnis Jawa dan Cina, orang Batak yang 85% hidup di pedesaan malu jika mengaku dari desa. Maka, banyak orang Batak sering mengaku dari Medan (Maksudnya 'Sumatera Utara').
Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kin jumlah penganut Parmalim dan Pelebegu ini sudah semakin berkurang.

Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Pakpak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang, Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola, Mandailing yang bermukim di Mandailing Natal, Simalungun di daerah Simalungun, Karo di daerah Karo, Pakpak Dairi bermukim di daerah Pakpak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.
Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, daripada karena garis keturunan.
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadat yang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan Batubara.
Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian : Jonok dongan pertubu jonokan do dengan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.
Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan silsilah.


Kepercayaan

Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung. Saat ini Gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
• Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
• Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
• Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaka. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

Tarombo

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Falsafah

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Sejarah

Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau. Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.
Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

Kontroversi

Belakangan sebagian orang Simalungun, Karo dan Nias tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari (sub-suku) Batak. Sementara Suku Alas, Suku Gayo, dan Suku Kluet dalam pergaulan sehari-hari sejak Indonesia merdeka tidak menyebut diri sebagai bagian dari suku Batak.
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Tapanuli, Karo, Toba, Mandailing dan Angkola sebagai etnis Batak.